Hari-hari terus berlanjut. Kali ini adalah part khusus. kisah Diana dan Devan. sedangkan kisah Jenny dan Marcel terdapat di bagian yang berbeda. Dari part ini bisa di lihat ke akraban dari keduanya. bagaimana mereka terbiasa bersama, bagaimana cocoknya kempat pasangan itu, saling melengkapi, dan tak mengenal rasa malu satu dengan yang lainnya. Penasaran?? yuk di klik ;)
Pagi itu adalah hari minggu. Hari yang sangat tepat digunakan sebagai ajang bersantai dan bangun siang. Kesempatan seperti ini biasanya digunakan Devan untuk bangun sesiang mungkin. Namun entah kenapa pagi itu Devan bangun lebih awal. Ketika ia melihat jam dinding, jam itu menunjukkan pukul 06.30 WITA. “Waw, rekor baru nih holiday gue bangun pagi.”, gumamnya. Seketika ia menengok ke jendela kamarnya yang bersebelahan dengan jendela kamar Diana. “Kira-kira Diana udah bangun belum ya?”, batinnya. “Hmm.. Pasti udah. Gue gangguin ah.”.
Tak lama kemudian hp Diana berdering-dering ria. Mendengar hpnya berbunyi, Diana mengambilnya dengan malas-malasan.
“Siapa ni?”, katanya asal.
“Yo girl.. masak lupa sih sama temen lo dari kecil? keterlaluan lo Di.”, gerutu Devan.
“Owh elo Van, ada apa?”, jawab Diana lemas. Tanpa melihat layar hpnya lagi. Dia hafal betul suara teman kecilnya itu.
“Elo kenapa, Di? Kok lemes gitu. Lo sakit?”, saut Devan khawatir.
“Iya nih Van, gue rada-rada gak enak badan.”, kata Diana sambil membenarkan posisi tidurnya.
“Oke, elo tunggu disana ya. Jangan kemana-mana. Ntar lagi gue kesana.”, ujar Devan dan langsung memutuskan sambungan teleponnya tanpa memberikan Diana kesempatan untuk menjawab.
“Dasar Devan. Biasa banget kayak gitu”, gerutu Diana. Tanpa ia sadari, terbesit senyum kecil dari bibirnya.
***
Dirumah Jenny, suasana sarapan pagi itu terasa mencekam seperti biasa. Sejak Jenny memutuskan mengambil jurusan yang berbeda dengan kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai dokter itu, suasana di antara mereka menjadi tidak mengenakkan. Jenny yang tidak nyaman dengan suasana meja makan itu memutuskan untuk pergi ke dapur.
“Ma, Pa, aku ke dapur dulu ya. Sekalian mau nyuci piring.”, pamitnya. Setelah menunggu agak lama, akhirnya hanya anggukan dari mamanya yang menjawabnya. Merasa tidak dihiraukan, Jenny bergegas pergi ke dapur.
“Seharusnya Jenny bisa meneruskan langkah kita dan Jennifer yang sekarang sudah kuliah diluar negri. Huh, dasar anak tidak bisa di atur.”, gumam papa Jenny.
“Sudahlah pa, mama juga kecewa dengan keputusan Jenny. Tapia pa boleh buat? Biarlah dia memutuskan jalan hidupnya sendiri. Lagipula masakannya enak.”, jawab mamanya yang disambut dengan dengusan dari papa Jenny. Jenny yang berlum jauh dari meja makan bisa mendengar jelas percakapan kedua orang tuanya itu.
“Kenapa papa dan mama tidak bisa menghargai keputusanku?”, batinnya. Perlahan-lahan air matanya mulai meluncur di pipinya yang halus.
Jreett, jreett .. Hp Jenny bergetar lebih dari satu kali yang menandakan ada panggilan di hpnya. Setelah melihat nama yang tertera di layar hpnya, Jenny langsung menjawab panggilan itu.
“Ha-hallo. Ada apa Cel?”, kata Jenny dengan suara sedikit bergetar karena menahan tangis.
“Hmm, elo habis nangis ya? Kenapa? Orang tuamu lagi? Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Suatu saat nanti mereka akan mengerti kalau yang kamu putuskan itu memang yang terbaik untukmu.”, ujar Marcel yang sudah mengetahui masalah yang dialami oleh sahabatnya ini.Mendengar kata-kata Marcel, tangis Jenny pecah. Ia pun mulai terisak.
“E-eh, kok malah tambah kenceng nangisnya?”, kata Marcel panik. “Udah, udah. Berhenti dong nangis. Gue udah ada di depan rumah lo nih.Gue pengen ngajakin lo jalan-jalan biar elo lebih tenangan dikit. Buruan keluar! sebelum gue lumutan nungguin elo.”.
“A-apa? Bilang dong dari tadi kalo lagi di depan rumah. Iyaiya, gue keluar sekarang”, jawab Jenny buru-buru.
Sejurus kemudian Jenny sudah berada di depan rumahnya dan melihat sosok Marcel yang sudah bertengger di atas motornya.
“Siap untuk berangkat tuan putri?”, katanya sambil melemparkan senyum manis ke arah Jenny.
“So pasti!”, jawab Jenny mantap. Jenny pun naik ke motor Marcel dan langsung meluncur entah kemana. Yang pasti suasana hati Jenny sekarang sudah menjadi sangat lebih baik dari sebelumnya. Memang hanya Marcel yang bisa membuatnya melupakan masalah di rumah.
***
“Halohaa, spadaa.. Apakah ada kehidupan dikamar ini?”, ujar Devan yang sudah mendapatkan ijin masuk ke kamar Diana oleh mamanya. Devan yang sudah tidak asing lagi dengan tata letak rumah itu langsung meluncur menuju kamar Diana di lantai dua. “Woy pemalas, buruan bangun! Gue bawa makanan kesukaan elo nih!”.
--kreooott—terdengar suara decit pintu kamar menandakan si empunya kamar sudah membuka pintu.
“Booo!”, teriak Devan mengagetkan Diana yang baru keluar dari kamarnya.
“Kyaaa..”, pekik Diana kaget. Seketika tubuhnya yang lemas menjadi segar kembali. “Devaaaannnnn!”, teriaknya setelah mengetahui siapa orang iseng yang mengagetkannya itu. “Awas elo yaa!”. Seketika terjadi adegan kejar-kejaran bak para pemain India antara Devan dan Diana.
“Nih rasain! Ini hukuman buat orang jail kayak elo yang hobby buat orang jantungan!”, gerutu Diana yang kini sudah sibuk memukul Devan dengan bantal dikamarnya.
“Hahaha.. elo gak modal banget sih. Ngga ada ngaruhnya kale mukul orang pake bantal. Empuk mah iya, kalo sakit sih kaga!”, ujar Devan yang menjadi korban pukulan bantal dari Diana.
“Heh! Bukannya minta ampun, malah ngomong yang ngga-ngga.”, kata Diana yang semakin kesal dengan tingkah teman kecilnya itu. “Elo pengen gue jadiin praktek jurus karate baru gue ya?!”.
“Hah? Iyadeh, ampun-ampun tuan putri. Ngga bakal gitu lagi deh. Sumpah!”, ujar Devan yang nyalinya mulai menciut setelah mendengar kata-kata terakhir Diana. “Oiya nih gue bawain lo buah-buahan biar lo cepet sembuh.”, lanjutnya.
“Waahh.. Kayaknya enak deh. Makasi yaa Van.”, kata Diana dan langsung mencomot sebuah jeruk dari parcel yang dibawakan oleh Devan.
“Eh, kok main ambil aja lo. Bilang apa sama gue?”, ujar Devan sedikit kesal.
“Emang gue mesti bilang apaan lagi? Hmmm.. Gue tau!”, jawab Diana setengah berteriak saking semangatnya, dan membuat Devan ikut senang karena mengira akan mendengar apa yang ingin ia dengar dari tadi. “Besok-besok bawain gue lagi ya, Van. Buahnya enak banget nih. Badan gue seketika seger lagi.”, lanjut Diana senang.
“Gubraakkk! Bukan itu maksud gue Diana Pertiwi. Halah, lupain aja deh. Dari dulu emang gak pernah bisa bilang makasi ke gue.”, gerutu Devan semakin jengkel dengan kelakuan Diana. Sedangkan Diana hanya tertawa lepas menanggapi gerutuan dari temannya itu. Selebihnya, sisa hari Minggu itu mereka habiskan dengan bercanda gurau, makan siang, dan menonton DVD bersama.
---to be continued---
Senin, 29 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar