Seperti
biasa, Ika menungu Devan menjemputnya di depan rumah. Sudah menjadi kebiasaan
rutin bagi Devan untuk mengantar jemput Ika setiap hari. Akan tetapi berbeda
dengan hari ini. Sudah hampir jam 7, Namun Devan belum kunjung terlihat batang
hidungnya. Ini sudah ketiga kalinya ia seperti ini. Dengan sedikit tidak
sabaran, Ika mengambil ponsel dan menelepon Devan.
“Hallo, ada apa Ka?”, jawab Devan dari
seberang telepon.
“Kamu
dimana, Van? Sejak tadi aku menunggumu didepan rumah!”, saut Ika sebal.
“Astaga!
Ika maaf. Aku sudah di sekolah dan. . .” tutututtt..
Ika
memutuskan sambungan telepon sepihak, tanpa mendengarkan penjelasan Devan
hingga selesai. Saking sebalnya, Ika langsung me-nonaktif-kan ponsel dan memasukkan ke dalam tas ranselnya. Ia pun
segera berlari menuju garasi untuk mengambil motornya dan bergegas menuju
sekolah. Ia benar-benar sangat terlambat sekarang. “Pasti gara-gara pacar
barunya lagi!”, rutuknya dalam hati.
Sesampainya di sekolah, Ika
buru-buru memarkir motornya dan berlari kecil kearah kelas. Persis di depan
pintu kelas, Devan sedang menunggunya.
“Ka,
kok ponselmu mati sih? Aku dari tadi neleponin kamu terus tau!”, kata Devan.
“Ponselku
lowbat.”, saut Ika singkat sambil
berjalan menuju bangkunya yang berada persis didepan bangku Devan.
“Kamu
kenapa, Ka? Kok pagi ini beda sih? Marah ya sama aku?”, tanya Devan seraya
mengikuti Ika ke bangkunya.
Dengan
malas Ika menatap Devan dan berkata, “Ada urusan apa kamu barusan,
sampai-sampai kamu lupa menjemputku? Ini sudah ketiga kalinya kamu begini.”.
“Mmmhh..
Tadi aku menjemput Ririn.”, jawab Devan dengan nada menyesal.
“Astagaa,
belakangan kamu selalu memberiku alasan yang sama! Oh iya, aku lupa sekarang
kamu sudah punya pacar. Maaf deh. Mulai sekarang kamu tidak perlu menjemputku. Aku
bisa sendiri.”, ujar Ika sebal.
“Loh?
Kenapa?? Aku tidak keberatan kalau harus menjemputmu dulu. Kita kan bisa
berangkat bertiga.”, kata Devan polos.
“Kamu
memang tidak keberatan, tapi Ririn? Aku tidak mau mencari perkara. Ririn juga
temanku. Dia pasti akan cemburu kalau melihat kita tetap dekat.”, jawab Ika
ketus.
Belum
sempat Devan menanggapi jawaban Ika, datanglah seorang guru yang akan mengajar
dikelas itu. Dengan terpaksa Devan kembali ke bangkunya dan hanya bisa menatap
Ika dari belakang. Disisi lain Ika sangat bersyukur guru segera datang,
sehingga dia tidak perlu lagi berlama-lama menatap wajah polos Devan.
Bel sekolah berbunyi menandakan jam
pelajaran berakhir. Setelah guru pergi, Ririn langsung menyeruak masuk ke dalam
kelas dan menghampiri Devan. Kedatangan Ririn, membuat Devan tidak memiliki
kesempatan untuk berbicara dengan Ika. Melihat Ririn bersama Devan, dada Ika
berasa sesak. “Seharusnya saat ini Devan bersamaku dan mengantarku pulang.”,
gerutunya sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Selama mereka bersahabat,
ini adalah kali pertama salah satu diantara mereka memiliki pacar. Dan semenjak
Devan berpacaran, waktu kebersamaan mereka semakin berkurang. Devan selalu
menjadikan Ririn sebagai prioritas utamanya. Hal ini yang membuat Ika sakit
hati. Ia sangat kecewa dengan perubahan sikap Devan.
Hari demi hari berlalu. Persahabatan
Ika dan Devan kian merenggang. Jangankan terlihat bersama, untuk saling
bertegur sapa saja mereka tidak pernah. Keadaan ini terus berlanjut. Hingga
suatu sore, Devan memutuskan menemui Ika di rumahnya.
Tingtong…
bel rumah Ika berbunyi. Tak lama kemudian, datanglah seorang ibu yang masih
terlihat segar dan awet muda.
“Oh,
ternyata nak Devan. Mari masuk. Nyari Ika
ya?”, kata Ibu Ika ramah.
“Hehe,
tante tau aja. Iya, Devan mau cari Ika, tan. Ika-nya ada?”, tanya Devan.
“Ada.
Itu dia lagi duduk-duduk di halaman belakang. Langsung samperin kesana aja
Van.”, jawab ibu Ika yang sudah tidak asing lagi dengan kedatangan Devan.
“Iyadeh
tante, Devan permisi mau nyari Ika dulu.”, kata Devan. “Uhm.. Tan, Devan boleh
mampir ke dapur dulu gak? Mau minta minum nih. Haus banget sehabis latian
langsung meluncur ke sini. Hehehe..” lanjutnya lagi.
Pernyataan
Devan yang to the point itu, membuat ibu
Ika tersenyum. Sudah bukan hal aneh lagi jika Devan bersikap seperti itu di
rumah Ika. Bagi Devan, rumah Ika adalah rumah kedua baginya. Dan bagi ibu Ika,
Devan sudah seperti anaknya sendiri.
“Boleh.
Devan ambil sendiri aja di dapur ya . Tante sekarang harus berangkat ke kantor
papa Ika dulu, ada berkas yang perlu tante bawakan. Di kulkas juga ada pudding
kesukaan kalian. Sekalian bawain Ika ya. Masih inget tempat dapurnya kan?”.
“Wah,wah.
Devan dapet paket plus, plus nih tan. Hahaha.. Masih dong. Sudah hampir 11 taun
sering maen-maen ke sini, kalo Cuma letak dapur sih masih inget banget tan.”,
jawabnya mantap. Puas denan jawaban Devan, ibu Ika pamit pergi.
Setelah puas mengobok-obok dapur,
Devan memutuskan mengambil 2 kotak susu dan 2 piring kecil pudding. Dari jendela
dapur, ia dapat melihat Ika yang tengah duduk di sebuah ayunan. Terpancar
ketenangan dan keceriaan dari wajahnya. “Dari dulu dia tidak pernah berubah.”
Batin Devan. Tanpa pikir panjang, ia segera menemui Ika di halaman belakang.
“Susu
coklat!”, pekik Ika dan langsung menyambar sekotak susu yang dibawa Devan. Susu
coklat adalah minuman kesukaan Ika. Dan hal itu diketahui persis oleh Devan.
“Wowowooo..
slowly girl! Nih aku juga bawa
pudding buat kamu.”, kata Devan. “Ka, kenapa kamu senang sekali berada disini?”,
tanyanya.
“Menurut
kamu?”, tanya Ika yang kini sibuk meminum susu coklatnya.
“Hmm..
Tempat ini sejuk, tenang, dan bisa membuat pikiran jadi tenang Apalagi
sore-sore gini, Hahhh… nyaman banget. Ini tempat nongkrong favorite kita dulu.”. Tanpa ia sadari, Devan sudah menjawab
pertanyaannya sendiri.
Ika
tersenyum puas dengan jawaban Devan. “Tidak hanya dulu, Van. Sampai sekarang, tempat
ini masih menjadi tempat tongkrongan favoriteku
kok.”, ujar Ika kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Devan.
“Aku
juga sama. Tempat ini masih menjadi tempat favoriteku.
Yah, walaupun sekarang sudah jarang nongkrong disini sih.”, jawab Devan.
Ingatannya seketika berkelana menembus waktu. Ia kembali teringat akan masa
lalunya disini. Masa-masa dimana dirinya dan Ika kecil menghabiskan waktu di
tempat itu. Terpancar raut kegembiraan diwajah mereka. Terlihat jelas kalau
mereka sangat nyaman satu dengan yang lainnya. Sang waktu pun sepertinya ingin
menghentikan waktu saat itu juga, agar keceriaan diwajah mereka tidak berlalu
begitu saja. Berbeda dengan sekarang, mereka bukan lagi anak-anak yang dapat
bermain riang gembira tanpa beban. Kini berbagai macam problema kehidupan mulai
menghampiri mereka satu persatu. Problema yang semakin membuat Devan paham ‘bagaimana
makna keberadaan Ika di hidupnya.’.
“Woy!
Sore-sore melamun. Hati-hati kesambet lho!”, seru Ika membuyarkan lamunan
Devan. “Yahh, aku tau belakangan ini kamu sudah jadi super sibuk, dan sekarang
kamu juga sudah ‘punya pacar’. So, tidak
mungkin dong kamu sering-sering maen ke sini.”, lanjutnya yang sengaja diberi
penekanan pada kalimat terakhirnya.
“Hehehe..
Tenang aja Ka, walaupun seperti itu aku selalu ada disini kok.”, kata Devan
sambil menunjuk dadanya sendiri. “Di hatimu, Ika.”, lanjutnya.
Saat
itu juga, tanpa sengaja mata Ika dan Devan bertemu. Perasaan aneh seketika
menghampirinya ketika ia menatap mata Devan. Dari sorot matanya, Ika tahu
persis, Devan sedang tidak bercanda. Hal itu membuat Ika tersadar, Devan yang
ada dihadapannya sekarang bukan lagi Devan kecil yang dulu selalu mengikutinya
dan setia menemaninya bermain di halaman belakang ini. Jelas bukan.. Di
hadapannya sekarang adalah sosok Devan dewasa yang kini tengah memiliki pujaan
hatinya sendiri dan tidak lagi bisa setiap saat menemaninya. Ika pun mulai
paham, ‘bagaimana makna keberadaan Devan di hidupnya’.
“Aaa,
Devan to tweet deh. Ngga terasa,
ternyata kamu sudah gede ya sekarang. Hahaha”, ujar Ika sambil mengacak-acak
rambut Devan, dan berusaha terdengar setenang mungkin.
“Iya
dong ah, aku sekarang uda gede, Ka. Sudah bisa bikin cewek klepek-klpek nih.
Hahaha… Tapi bukan hanya aku yang jadi gede, kamu juga sudah gede sekarang.”,
ujar Devan tersenyum jail. “Oiya Ka, kamu sudah tidak marah kan tentang
kejadian kemarin?”, lanjut Devan hati-hati.
“Tidak,
aku sudah melupakannya. Pertemanan 11 tahun kita, tidak akan pupus begitu saja
hanya karena hal kecil seperti ini.”, jawab Ika sambil memberikan senyuman
seikhlas mungkin pada Devan.
“Friendship forever sahabat kecilku?”, tanya Devan seraya
menyodorkan jari kelingking kanannya.
“Yeah,
friendship forever”, saut Ika dan
mengaitkan jari kelingking kanannya ke kelingking Devan, seperti kebiasaan
mereka dulu ketika mereka baikan dan saling meminta maaf. “Masih ingat lagu
ini?”, lanjut Ika seraya memutar sebuah lagu dari mp3 player miliknya. Ika memutar lagu kesukaan mereka berdua. Mendengar
lagu yang diputar Ika, terbesit sebuah senyum dari bibir Devan. Ia merangkul
Ika dan perlahan ikut bernyanyi mengikuti alunan musik.
♫◦ Now everyday is something new ◦♫
♪ And any path we take, I’m looking
forward too ♪
♪ The way we try, and never quit ♪
♪ The way that all the pieces fit ♪
……
♫ Forever I’m here for you, you’re
here for me ♫
0 komentar:
Posting Komentar