Ga pake basa-basi lagi, langsung aja dibaca ceritanya. Lanjutan cerbung sebelumnya ^^
“Buruan
naik! Gue di uber sama fans-fans gue nih!”, pekik Devan panik dari dalam mobil.
Marcel dan Jenny yang tidak tau menau keadaan masih terbengong-bengong
mendengar kata-kata Devan. “Ayo dong cepeeettt!”, kata Devan lagi, setengah
berteriak.
“E-eh,
iya-iya.”, jawab Jenny yang lebih dulu sadar dari lamunannya. Walaupun belum
mengerti apa yang sedang terjadi, Jenny dan Marcel tetap naik ke mobil Devan.
“Sebenarnya
ada apa sih? Kok lo panik gitu?”, tanya Marcel yang sejak tadi sudah penasaran.
“Tadi
gue lagi di uber-uber sama Devan’s club.”, jawab Devan singkat.
“Hahaha..
Sumpah, geli banget gue tiap denger tu nama. Gokil! Hahaha.”, ujar Diana sambil
tertawa lepas.
“What?! Devan’s club?”, kata Jenny dan
Marcel berbarengan.
“Halah,
bilang aja lo jealous Di. Gara-gara
gue punya fans club. Iya kan? Tenang aja. Perhatian gue tetep buat elo kok.”,
ujar Devan jail yang disambut jitakan dari Diana. “Aduh. Sakit tau. Hehhe.
Kalian ngga usah kaget gitu kale guys! Maklum
lah, cowok paling ganteng di sekolah ya ague tentunya. Ditambah lagi gue pemain
basket inti di sekolah yang paling berprestasi. Jadi wajar aja tuh kalo gue
dikejar-kejar kayak gitu. Hahaha!”, lanjut Devan bangga.
“Waw,
congrat sob! Tapi apa lo gak risih
dikejar sama cewek-cewek kayak gitu? Gue aja yang liat udah risih”, kata Marcel
heran.
“Ah,
udalah. Nanti juga mereka bosen sendiri kok. Biarin aja.”, jawab Devan santai.
“Hh..
whatever deh!”, umpat Marcel.
***
Tingtong…
Bel rumah Diana berbunyi. Tak lama kemudian muncul seorang ibu yang masih
terlihat awet muda.
“Oh
nak Devan. Mari masuk. Nyari Diana ya?”, kata ibu itu ---yang belakangan
diketahui bernama bu Marsya, mama dari Diana--- sopan.
“Ah
tante tau aja. Iya nih tan, Devan nyari Diananya ada?”, tanya Devan.
“Ada-ada.
Itu dia lagi duduk-duduk di halaman belakang. Di samperin kesana aja Van.”,
jawab bu Marsya sambil memberikan senyum manisnya.
“Yaudadeh
tante, Devan permisi mau nyari Diana dulu ya.”, kata Devan. “Uhm.. Tante, Devan
boleh mampir ke dapur dulu gak? Mau minta minum nih. Haus banget barusan
selesai latian basket langsung meluncur ke sini. Hehehe..” lanjutnya lagi.
Mendengar
pernyataan Devan yang to the point itu,
bu Marsya tersenyum, “Iya, Devan ambil aja di dapur. Tante juga punya pudding
di kulkas. Sekalian bawain Diana ya. Masih inget tempat dapurnya kan?”.
“Wah,wah.
Dapet paket plus, plus tu tan. Hahaha.. Masih dong. Masak udah 11 taun sering
maen-maen ke sini gak inget letak dapur doing tante.”, jawabnya mantap. Puas
denan jawaban Devan, bu Marsya ikutan pamit untuk pergi ke kamarnya.
Setelah
Devan puas mengobok-obok dapur, ia memutuskan mengambil 2 kotak susu kecil dan
2 piring kecil pudding buatan bu Marsya. Dari jendela dapur, ia melihat Diana
sedang duduk di sebuah ayunan. Terpancar ketenangan dan keceriaan dari wajah
Diana. “Dari dulu dia tidak pernah berubah.” Batin Devan. Tanpa pikir panjang
lagi ia segera menemui Diana di halaman belakang.
“Susu
coklat!”, pekik Diana dan langsung menyambar sekotak susu yang dibawa Devan.
Dari dulu Diana memang sangat suka minum susu coklat. Dan hal itu diketahui
persis oleh Devan. Itu sebabnya diantara banyak minuman yang ada dikulkas, ia
lebih memilih membawakan Diana sekotak susu.
“Wowowooo..
slowly girl!. Nih gue juga bawa
pudding buat elo.”, kata Devan. “Elo kok hobby banget nongkrong di sini Di?”,
tanyanya.
“Menurut
elo kenapa?”, tanya Diana acuh tak acuh sambil sibuk meminum susu coklatnya.
“Tempat
ini sejuk, tenang, dan bisa buat pikiran jadi tenang juga. Ini tempat nongkrong
favorite kita dulu.”. Tanpa ia
sadari, Devan sudah menjawab pertanyaannya sendiri. “Dari dulu dia tidak pernah
berubah”, batin Diana. Diana pun tersenyum puas dengan jawaban Devan.
“Bukan
dulu aja. Sampai sekarang ini masih tempat tongkrongan favorite gue. Ngga tau deh elonya gimana.”, ujar Diana yang
kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Devan.
“Masih
kok, Di. Tapi belakangan ini gue jarang ke sini. Gue jadi kangen banget sama
tempat ini.”, jawab Devan. Ingatannya seketika berkelana ke masa lalu.
Masa-masa dimana dirinya dan Diana kecil menghabiskan waktu di tempat itu.
Terpancar raut kegembiraan diwajah mereka. Terlihat jelas kalau mereka sangat
nyaman satu dengan yang lainnya. Sang waktu pun sepertinya ingin menghentikan
waktu saat itu juga agar keceriaan diwajah mereka tidak berlalu begitu saja.
“Woy!
Sore-sore melamun. Ati-ati kesambet lho!”, kata Diana membuyarkan lamunan
Devan. “Yahh, gue tau belakangan ini lo uda jadi ‘orang super sibuk’. So, gak mungkin dong elo sering-sering
maen ke sini.”, lanjutnya yang sengaja diberi penekanan pada kalimat
terakhirnya.
“Hehehe..
Tenang aja Di, walaupun gitu gue tetep ada disini.”, kata Devan sambil menunjuk
dadanya sendiri. “Di hati lo, Diana.”, lanjutnya.
Degg!
Jantung Diana seolah berhenti setelah mendengar pernyataan Devan. Dulu setiap
kali Devan berkata seperti itu, reaksinya tidak pernah seperti ini. Karena ia
tau kalau Devan hanya bercanda. Diana memberanikan diri untuk menatap mata
Devan. “Ia tidak sedang bergurau.”, gumamnya dalam hati.
“Haduh,
ternyata temen gue yang hobby ceplas-ceplos ini udah gede toh. Canggih bener
kata-kata lo barusan Van. Siapa yang ngajarin?”, canda Diana sambil berusaha
terlihat sesantai mungkin. Jika saja mereka berada sedikit lebih dekat, saking
kerasnya mungkin Devan bisa mendengar detak jantung Diana.
“Ha-haha..
Jangan salah, gini-gini gue bisa buat cewek-cewek melting lho Di.”, jawab Devan dengan sedikit tertawa garing.
Setelah menyadari apa yang dikatakannya tadi, kini jantungnya mulai berdetak
lebih cepat dari biasanya dan wajahnya pun mulai menyerupai kepiting rebus.
“Ada apa dengan gue? Dasar bodoh!”, batinnya dalam hati sambil terus mengutuki
dirinya sendiri.
---to be continued---
0 komentar:
Posting Komentar