Pages - Menu

topbella

Senin, 29 Oktober 2012

Untitled (EMPAT)


 Ga pake basa-basi lagi, langsung aja dibaca ceritanya. Lanjutan cerbung sebelumnya ^^

“Buruan naik! Gue di uber sama fans-fans gue nih!”, pekik Devan panik dari dalam mobil. Marcel dan Jenny yang tidak tau menau keadaan masih terbengong-bengong mendengar kata-kata Devan. “Ayo dong cepeeettt!”, kata Devan lagi, setengah berteriak.
“E-eh, iya-iya.”, jawab Jenny yang lebih dulu sadar dari lamunannya. Walaupun belum mengerti apa yang sedang terjadi, Jenny dan Marcel tetap naik ke mobil Devan.
“Sebenarnya ada apa sih? Kok lo panik gitu?”, tanya Marcel yang sejak tadi sudah penasaran.
“Tadi gue lagi di uber-uber sama Devan’s club.”, jawab Devan singkat.
“Hahaha.. Sumpah, geli banget gue tiap denger tu nama. Gokil! Hahaha.”, ujar Diana sambil tertawa lepas.
What?! Devan’s club?”, kata Jenny dan Marcel berbarengan.
“Halah, bilang aja lo jealous Di. Gara-gara gue punya fans club. Iya kan? Tenang aja. Perhatian gue tetep buat elo kok.”, ujar Devan jail yang disambut jitakan dari Diana. “Aduh. Sakit tau. Hehhe. Kalian ngga usah kaget gitu kale guys! Maklum lah, cowok paling ganteng di sekolah ya ague tentunya. Ditambah lagi gue pemain basket inti di sekolah yang paling berprestasi. Jadi wajar aja tuh kalo gue dikejar-kejar kayak gitu. Hahaha!”, lanjut Devan bangga.
“Waw, congrat sob! Tapi apa lo gak risih dikejar sama cewek-cewek kayak gitu? Gue aja yang liat udah risih”, kata Marcel heran.
“Ah, udalah. Nanti juga mereka bosen sendiri kok. Biarin aja.”, jawab Devan santai.
“Hh.. whatever deh!”, umpat Marcel.
***
Tingtong… Bel rumah Diana berbunyi. Tak lama kemudian muncul seorang ibu yang masih terlihat awet muda.
“Oh nak Devan. Mari masuk. Nyari Diana ya?”, kata ibu itu ---yang belakangan diketahui bernama bu Marsya, mama dari Diana--- sopan.
“Ah tante tau aja. Iya nih tan, Devan nyari Diananya ada?”, tanya Devan.
“Ada-ada. Itu dia lagi duduk-duduk di halaman belakang. Di samperin kesana aja Van.”, jawab bu Marsya sambil memberikan senyum manisnya.
“Yaudadeh tante, Devan permisi mau nyari Diana dulu ya.”, kata Devan. “Uhm.. Tante, Devan boleh mampir ke dapur dulu gak? Mau minta minum nih. Haus banget barusan selesai latian basket langsung meluncur ke sini. Hehehe..” lanjutnya lagi.
Mendengar pernyataan Devan yang to the point itu, bu Marsya tersenyum, “Iya, Devan ambil aja di dapur. Tante juga punya pudding di kulkas. Sekalian bawain Diana ya. Masih inget tempat dapurnya kan?”.
“Wah,wah. Dapet paket plus, plus tu tan. Hahaha.. Masih dong. Masak udah 11 taun sering maen-maen ke sini gak inget letak dapur doing tante.”, jawabnya mantap. Puas denan jawaban Devan, bu Marsya ikutan pamit untuk pergi ke kamarnya.
Setelah Devan puas mengobok-obok dapur, ia memutuskan mengambil 2 kotak susu kecil dan 2 piring kecil pudding buatan bu Marsya. Dari jendela dapur, ia melihat Diana sedang duduk di sebuah ayunan. Terpancar ketenangan dan keceriaan dari wajah Diana. “Dari dulu dia tidak pernah berubah.” Batin Devan. Tanpa pikir panjang lagi ia segera menemui Diana di halaman belakang.
“Susu coklat!”, pekik Diana dan langsung menyambar sekotak susu yang dibawa Devan. Dari dulu Diana memang sangat suka minum susu coklat. Dan hal itu diketahui persis oleh Devan. Itu sebabnya diantara banyak minuman yang ada dikulkas, ia lebih memilih membawakan Diana sekotak susu.
“Wowowooo.. slowly girl!. Nih gue juga bawa pudding buat elo.”, kata Devan. “Elo kok hobby banget nongkrong di sini Di?”, tanyanya.
“Menurut elo kenapa?”, tanya Diana acuh tak acuh sambil sibuk meminum susu coklatnya.
“Tempat ini sejuk, tenang, dan bisa buat pikiran jadi tenang juga. Ini tempat nongkrong favorite kita dulu.”. Tanpa ia sadari, Devan sudah menjawab pertanyaannya sendiri. “Dari dulu dia tidak pernah berubah”, batin Diana. Diana pun tersenyum puas dengan jawaban Devan.
“Bukan dulu aja. Sampai sekarang ini masih tempat tongkrongan favorite gue. Ngga tau deh elonya gimana.”, ujar Diana yang kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Devan.
“Masih kok, Di. Tapi belakangan ini gue jarang ke sini. Gue jadi kangen banget sama tempat ini.”, jawab Devan. Ingatannya seketika berkelana ke masa lalu. Masa-masa dimana dirinya dan Diana kecil menghabiskan waktu di tempat itu. Terpancar raut kegembiraan diwajah mereka. Terlihat jelas kalau mereka sangat nyaman satu dengan yang lainnya. Sang waktu pun sepertinya ingin menghentikan waktu saat itu juga agar keceriaan diwajah mereka tidak berlalu begitu saja.
“Woy! Sore-sore melamun. Ati-ati kesambet lho!”, kata Diana membuyarkan lamunan Devan. “Yahh, gue tau belakangan ini lo uda jadi ‘orang super sibuk’. So, gak mungkin dong elo sering-sering maen ke sini.”, lanjutnya yang sengaja diberi penekanan pada kalimat terakhirnya.
“Hehehe.. Tenang aja Di, walaupun gitu gue tetep ada disini.”, kata Devan sambil menunjuk dadanya sendiri. “Di hati lo, Diana.”, lanjutnya.
Degg! Jantung Diana seolah berhenti setelah mendengar pernyataan Devan. Dulu setiap kali Devan berkata seperti itu, reaksinya tidak pernah seperti ini. Karena ia tau kalau Devan hanya bercanda. Diana memberanikan diri untuk menatap mata Devan. “Ia tidak sedang bergurau.”, gumamnya dalam hati.
“Haduh, ternyata temen gue yang hobby ceplas-ceplos ini udah gede toh. Canggih bener kata-kata lo barusan Van. Siapa yang ngajarin?”, canda Diana sambil berusaha terlihat sesantai mungkin. Jika saja mereka berada sedikit lebih dekat, saking kerasnya mungkin Devan bisa mendengar detak jantung Diana.
“Ha-haha.. Jangan salah, gini-gini gue bisa buat cewek-cewek melting lho Di.”, jawab Devan dengan sedikit tertawa garing. Setelah menyadari apa yang dikatakannya tadi, kini jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasanya dan wajahnya pun mulai menyerupai kepiting rebus. “Ada apa dengan gue? Dasar bodoh!”, batinnya dalam hati sambil terus mengutuki dirinya sendiri.

---to be continued---

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

 
Story© Diseñado por: Compartidisimo